“Terbinanya
mahasiswa Islam menjadi insan ulil albab yang turut bertanggungjawab atas
terwujudnya masyarakat yang diridhoi oleh Allah subhanahu wata’ala”.
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang
lahir pada 5 Februari 1947 dengan diprakarsai oleh Lafran Pane dan beberapa
mahasiswa islam di zaman itu tentunya memiliki cita-cita besar terhadap
organisasi ini. Islam, Ilmu, Amal untuk kebermanfaatan masyarakat adalah
landasan dasar yang penulis pahami dari terbentuknya HMI di zaman itu, sampai
saat ini landasan itu pulalah yang membuat HMI masih konsisten dalam
perjuangannya memberi kebermanfaatan kepada masyarakat. Sebelum jauh berbicara
tentung HMI penulis mencoba memaparkan sedikit apa yang penulis dapat, ada
sesuatu yang menarik dari tulisan Al Jabiri tentang perkembangan ilmu menuju
budaya, tulisan ini selaras dengan apa yang penulis dapat selama menjadi kader
HMI.
Ilmu ketika menjadi budaya tentunya ada nuansa spirit ilmiah,
keterbelakangan menjadi dampak ketika ilmu terpisah dari budaya dan budaya
tidak dilandasi oleh ilmu. Institusi pendidikan yang menyuguhkan ilmu tanpa
budaya maka ilmu hanya sebatas kanon-kanon bukan sebagai spirit ilmiah, keterpisahan
ilmu dari budaya yaitu ketak-terlibatannya ilmu dalam kehidupan masyarakat
secara materiil, intelektuil dan spirituil. Ini tidak berarti bahwa ilmu tidak hadir dalam masyarakat
tersebut, bahkan hadir sedemikian rupa, hanya saja kehadirannya seperti
kehadiran ragawi yang asing di sebuah lingkungan yang tak dilandasinya dan tak
terlandasi dengannya [1]. Keresahan-keresahan tersebutlah yang penulis kira
menjadi semangat lahirnya HMI oleh beberapa mahasiswa islam saat itu dimana
mereka sebagai pemrakarsa, dan tentunya keresahan tersebut pulalah yang membuat
HMI masih eksis hingga saat ini dan tentunya peran ini harus terus diambil
kader HMI untuk mengembangkan ilmu menjadi budaya.
Gerakan Buruh di Indonesia tentunya
sudah menjadi kawan berjuang aktivis HMI, kita semua sepakat bahwa
ketidak-adilan sangat banyak diterima oleh buruh dan sudah kewajiban HMI ikut
bergerak melawan ketidak-adilan tersebut. Setiap tahun di 1 Mei HMI bersama
para buruh bergerilya di jalanan menuntut keadilan, 1 Mei sebagai simbol
perlawanan besar-besaran, meski di tanggal lain pun HMI dan aktivis buruh juga
tetap terus melawan. Seperti apa yang dituliskan oleh Sandra tentang sejarah
pergerakan buruh di Indonesia, 15 september 1945 menjadi tanggal lahir Barisan
Buruh Indonesia (BBI) hingga saat ini organisasi gerakan buruh terus menyebar,
lahir dan terus bergerilya. Sandra juga menggambarkan bagaimana menghimpun
kekuatan sosial revolusi Indonesia dari kaum buruh, dari tulisan itu kita sadar
bahwa kelas buruh tentunya dapat menjadi kaum revolusi di negeri ini, revolusi
Bolshevik sudah menjadi catatan besar sejarah dunia dan tentunya ini menjadi
catatan penting bagi tiap negara untuk berhati-hati terhadap gerakan buruh [2].
Gerakan Buruh menjadi ladang amal penting bagi aktivis HMI untuk berdakwah,
sebagaimana kita ketahui bahwa paham sosialisme sangat dekat dengan islam dan
sudah sepatutnya aktivis HMI banyak mengambil peran melawan ketidak-adilan di
kaum buruh. Pemikiran dan Pergerakan aktivis HMI tidak dapat terlepas dari kaum
buruh dan ada tanggung jawab HMI untuk mensejahterakan kaum buruh.
Ada hal menarik dari buku yang
berjudul Api Putih di Kampus Hijau yang menjelaskan bagaimana gerakan Mahasiswa Universitas Islam
Indonesia (UII) dekade 80’an, sebagaimana kita ketahui sejarah mengatakan para
pemrakarsa HMI banyak berasal dari kampus UII yang dulunya dikenal dengan
Sekolah Tinggi Islam Yogyakarta. Suparman Marzuki menjelaskan bagaimana
perlawanan di era itu dengan HMI sebagai motor gerakan esktra melawan rezim,
beliau menjelaskan HMI bersama organisasi mahasiswa lainnya turut serta melawan
dengan cara menolak keras praktek-praktek pembelian tanah untuk kampus terpadu
UII Yogyakarta, sebagaimana dijelaskan perjuangan mereka untuik mengusulkan
sistem badan waqaf, praktek-praktek kezoliman sudah barang tentu tercium dengan
adanya praktek jual beli tanah ditambah dengan perantara para calo, pada
tulisan itu sangat jelas bagaimana perjuangan panjang aktivis HMI dan mahasiswa
lainnya memperjuangkan sebuah nilai yang mereka junjung yang tentunya sesuai
dengan islam.
UII yang sangat kental dengan HMI
memang banyak menyimpan sejarah perjuangan HMI saat itu, T.M Abduh juga
menjelaskan bagaimana peran kaderisasi HMI dalam gerakan mahasiswa UII 80’an.
HMI menjadi rahim lahirnya aktivis yang memiliki tradisi perlawanan atas
ketidak-adilan. Abduh berceita bagaimana perjuangan aktivis HMI melawan
kebijakan normalisasi kehidupan kampus (NKK), kritis dan juga aspiratif dua
kata yang menggambarkan perjuangan aktivis HMI kala itu, namun ada hal menarik
di balik kebijakan NKK/BKK, tren positif justru hadir di HMI dengan
meningkatnya animo mahasiswa untuk mengikuti basic training atau yang dikenal dengan BATRA HMI, bahkan dua kali
lipat dari sebelumnya, ini membuktikan bahwa HMI menjadi organisasi yang sangat
dinikmati bagi mahasiswa yang mau berjuang. Yamin Mangkunegara juga menjelaskan
bagaimana aktivis HMI kala itu mengorganisir pergerakan rakyat, dengan memulai
menggarap isu-isu kerakyatan, perlawanan mahasiswa bersama rakyat tak
terbendung, pengorganisir kekuatan masyarakat bukan hanya sebatas aksi simpatik
tapi sudah berujung kepada gerakan perlawanan, membayangkannya begitu heroik
menjadi aktivis HMI saat itu [3].
Tulisan sebelumnya sudah cukup
menggambarkan bagaimana HMI menjadi rahim tempat tumbuh dan berkembangnya
intelektual progressif, seorang yang memiliki ilmu yang berfikir jauh kedepan
dan berjuang hingga keadilan ditegakkan. Rakyat dan Mahasiswa tentu tidak dapat
dipisahkan begitupula dengan aktivis HMI dan umat, hubungan keduanya jelas
adalah kebermanfaatan dengan perjuangan sebagai medianya, kini hubungan itu
telah memudar dengan globalisasi dan arus zaman yang cenderung membentuk
perspektif individualis, tak heran jika peminat BATRA ataupun latihan kader di
berbagai organisasi gerakan sudah tidak laku lagi, HMI masih eksis namun
semangat perjuangannya jauh turun jika dibandingkan dekade sebelumnya. Salahkah
Reformasi ?
Menilik Reformasi alangkah baiknya
jika kita meninjau tulisan Sudjarwadi yang pernah menjabat sebagai Rektor UGM
2007-2011, pada tulisannya Sudjarwadi mengungkapkan kekecewaannya terhadap masa
reformasi dengan beberapa catatan, menurutnya datangnya era reformasi menuju
demokrasi di negeri inspio terasa mendesak, tidak disertai persiapan prasarana
lunak berupa peraturan hukum yang memadai dan kesiapan para penegaknya.
Akibatnya banyak terjadi anarkisme, konflik horizontal dan perselisihan antar
para elite. Kurang kuatnya pranata hukum dan ketidak siapan moral penegakanya
juga menyebabkan kasus korupsi makin marak. Belum lagi dari sisi ekonomi yang
menurut Sudjarwadi lebih baik namun kue ekonomi itu hanya dinikmati oleh para
golongan elit, kesenjangan antara si kaya dan si miskin semakin meningkat.
Secara politik, demokrasi hanya berwujud pematuhan jadwal-jadwal pemilihan
wakil rakyat dan pimpinan di tingkat daerah ataupun pusat,namun belum memenuhi
keterwakilan. Elit demokrasi era reformasi lebih mementingkan kepentingan diri
sendiri dan golongan belum berorientasi kepada rakyat [4]. Era Reformasi adalah
era yang sedang kita nikmati saat ini, era dimana perjuangan hanya sebatas
sebuah pencitraan untuk mendapatkan kekuasaan setinggi-tingginya, tentu jauh
sekali turunnya semangat perlawanan jika dibandingkan aktivis HMI di era 80’an
dan sebelumnya, ini menjadi tugas berat bagi HMI untuk berbenah diri agar mampu
melahirkan kader yang lebih baik lagi atau dalam tulisan ini penulis
menyebutnya Intelektual Progressif, hari ini dapat dibilang HMI sedang berduka
mengingat meningkatnya derajat kemandulan HMI untuk melahirkan Intelektual
Progresif tadi.
Buku Reinventing Pendidikan yang
Mengindonesia cukup baik dijadikan pedoman untuk mengkaji bagaimana sistem
pendidikan hari ini sehingga HMI dapat berkontribusi lebih dalam bidang
pendidikan, mengingat pengkaderan HMI umumnya bergerak di bidang pendidikan.
Gunawan menyebutkan ada 4 kontrak moral sebagai bangsa, yang pertama tercantum
dalam sumpah pemuda, sebuah dokumen sejarah yang tak terhapuskan menyebutkan Pertama: Kami poetra dan poetri Indonesia,
mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia. Kedoea: Kami poetra dan
poetri Indonesia mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia. Ketiga: Kami
poetra dan poetri Indonesia mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia,
kemudian yang kedua disebutkan pada pembukaan UUD 1945 yang berbunyi “.....untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial...”. Kontrak
moral ketiga disebutkan gunawan pada batang tubuh UUD 1945 yang berbunyi “1.
Perekonomian disusun sebagai usaha
bersama berdasar atas azas kekeluargaan. 2. Cabang-cabang produksi yang penting
bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara.
3. Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara
dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Kontrak moral keempat
tercantum pada lagu kebangsaan Indonesia Raya yang berbunyi Indonesia tanah airku, Tanah tumpah darahku,
Disanalah aku berdiri, Jadi pandu ibuku. Indonesia kebangsaanku, Bangsa dan
Tanah Airku, Marilah kita berseru, Indonesia bersatu. Hiduplah tanahku,
Hiduplah negriku, Bangsaku Rakyatku semuanya, Bangunlah jiwanya, Bangunlah
badannya, Untuk Indonesia Raya. Indonesia Raya, Merdeka Merdeka, Tanahku
negriku yang kucinta. Indonesia Raya, Merdeka Merdeka, Hiduplah Indonesia Raya.
Gunawan mengatakan keempat kontrak moral bangsa yang tersirat dan tersurat
dalam dokumen bangsa Indonesia yang bersejarah tersebut seharusnya mengikat
kepada seluruh rakyat di negeri ini [5]. Tentunya 4 kontrak moral tadi dapat
menjadi tolak ukur refleksi perjuangan HMI hari ini, apakah ada kontrak moral
yang terlupakan atau sengaja dilupakan karena memang perlahan tapi pasti
globalisasi telah mengerus nilai-nilai kemanusiaan yang juga tentu mengerus 4
kontrak moral tadi dari hati masyarakat.
Pada
penutup ini penulis ingin menyuarakan kepada seluruh rakyat Indonesia
bahwasanya HMI adalah rahim dalam melahirkan Intelektual Progresif untuk
memberikan kebermanfaatan kepada umat, perjuangan ini akan terus berlanjut
hingga hari akhir nanti, maka dari itu menurut penulis HMI bukan hanya milik
kader tapi juga masyarakat Indonesia, dan dengan demikian ketika HMI muali
melenceng dari nilai-nilai yang diperjuangkannya sudah sepatutnya semua
berkewajiban mengingatkan, 69 tahun HMI berdiri di republik ini, selama
itupulalah HMI selalu memberikan sumbangsih dan solusi bagi kebermanfaatan umat
di republik ini, maka bukanlah sebuah pertanyaan jika ada yang menanyakan
solusi HMI untuk republik ini karena sudah jelas selama 69 tahun itu HMI
menjadi rahim lahirnya Intelektual Porgressif untuk kebermanfaatan ummat di
republik yang kita cintai ini. Penulis optimis HMI beberapa tahun mendatang
akan kembali jaya seperti beberapa dekade sebelumnya, ini hanya menunggu waktu
karena transisi era orde baru menuju reformasi tentu membutuhkan proses
begitupula dengan organisasi pergerakan mahasiswa seperti HMI, butuh waktu
untuk menyesuaikan kondisi yang sangat tepat sehingga HMI sebagai rahim yang
benar-benar produktif akan kembali hadir.
Referensi
[1] Al Jabiri, Mohammad Abed, 2004,
Problem Peradaban, Belukar, Yogyakarta.
[2] Surya Tjandra dkk, 2007, Sejarah
Pergerakan Buruh Indonesia, TURC Jakarta.
[3] AE Priyono dkk, 2013, Api Putih di
Kampus Hijau, Mata Bangsa, Yogyakarta.
[4] Sudjarwadi, 2013, Pemimpin-pemimpin
yang tersesat, Beta, Yogyakarta
[5] Gunawan dkk, 2014, Reinventing
Pendidikan yang Mengindonesia, Penerbit Beta, Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar