Rabu, 30 September 2015

“Membersamai TKI Di Dalam Jeruji Besi”

Masa pembelajaran kami di marching for boundary beasiswa aktivis nusantara pun berakhir. Satu bulan kami mendapatkan kesempatan belajar di desa sungai limau, sebatik tengah. Mengajar anak TKI di sekolah tapal batas, membantu pengembangan desa berbasis koperasi dan UMKM, meramaikan kegiatan di masjid, dsb. Hari ini Jumat 18 September 2015 kami mendapatkan kesempatan berkunjung ke Kota Tawau di negeri Sabah Malaysia. Tawau, kota yang sering disebut oleh masyarakat sebatik sebagai pasar utama penjualan komoditas hasil kebun dari sebatik, tujuan kami berkunjung pun sekedar melihat potensi pasar sebagai target sasaran produksi umkm desa sungai limau.

Pagi-pagi kami sudah ke pelabuhan bersiap menyebrang laut antara nunukan (indonesia) dan tawau (malaysia). Tiket pun sudah di beli, namun ada sedikit kendala, petugas kapal mengatakan bahwa paspor saya telah habis masa berlakunya, meski tertulis disana habis pada 4 oktober 2015. Namun petugas kapal menanyakan tujuan ke tawau dan berapa hari disana, kami pun menyebutkan tujuan kami dan hanya sekedar pulang dan pergi di hari itu juga, kami diantar ke imigrasi nunukan dan cap paspor pun dilakukan.  Petugas mengatakan paspor sudah berakhir namun karena tujuannya sekedar berkunjung ditambah dengan tiket pulang pergi ditangan, saya dibolehkan berkunjung ke tawau.

Dua jam perjalanan yang kami tempuh akhirnya sampailah di pelabuhan tawau, antrian panjang imigrasi malaysia kami jalani, dimana 90% peserta antrian adalah tenaga kerja indonesia (TKI). Saya diutamakan terlebih dahulu karena paspor saya yang dikhususkan dengan tujuan lintas batas saja, sedangkan rekan saya aryo harus mengikuti antrian. Petugas kapal lalu mengantarkan saya ke petugas imigrasi, disana saya diproses dan sebuah kejutan bagi saya bahwa petugas imigrasi tidak mengizinkan saya masuk ke malaysia, diperparah dengan saya harus di bawa ke sel imigrasi. Sel imigrasi yang berbentuk kotak dengan ukuran 4 x 5 meter bersama jeruji besi disekelilingnya, begitupun dengan pintu dan jendelanya seakan menjadi rumah baru tempat peristirahatan saya di negeri jiran.

Saya masuk dan kebetulan sudah ada seorang anak muda disana, kami pun berdiskusi sambil menunggu proses, beliau bernama Ramli, seorang TKI asal nunukan yang ingin bekerja di tawau. Ramli was-was karena beliau sudah pernah menjalani proses ini. Paspor yang bermasalah sekitar satu tahun yang lalu mengantarkan beliau ke penjara malaysia di kuala lumpur, dua bulan masa tahanan beliau jalani, kegiatan yang dilakukan hanya sekedar makan dan tidur, selepas masa tahanan beliau di buang ke tanjung pinang sumatera dan berlanjut hingga ke jakarta. Cerita Ramli membangkitkan rasa panik saya, terbayang bagaimana jika hukuman tersebut juga jatuh kesaya. Tak lama berselang ternyata sudah ada sepuluh manusia bermasalah di dalam kurungan jeruji besi tersebut, dan semuanya adalah TKI terkecuali saya. Saya pun berdiskusi ke tiap orang yang ada disana menanyakan pengalaman mereka sebagai TKI dan hukuman-hukuman yang telah mereka dapat. Seorang ibu muda bercerita kepada saya sambil menangis, paspor bermasalah sudah kedua kalinya dia alami, pertama beliau harus dibuang ke penampungan TKI bermasalah di Sabah, dua minggu masa tahanan beliau jalani, beliau pun sangat takut jika kejadian itu dapat terjadi karena keinginannya bekerja untuk menghidupi anaknya di indonesia. Ada juga pemuda yang berniat menikahi calon istrinya di sabah, ia merupakan TKI yang bekerja di salah satu kota di sabah, dan dalam bulan ini ingin melamar pujaan hati, ternyata paspor yang bermasalah membuat beliau harus pulang ke indonesia dan tak  mungkin bertemu kekasih hati dalam waktu dekat ini.

Banyak sekali cerita yang saya dapat, hingga kurang lebih 5 jam dalam kurungan ada 15 orang yang berada di dalam jeruji besi tersebut. Ada beberapa catatan yang saya garis bawahi, pertama adalah soal jaminan seorang TKI, para TKI hanya mengandalkan toke/juragan mereka, toke seperti bos dari para budak, mereka lah yang mengurus semua urusan TKI hingga mereka dapat bekerja disana, ibarat pemain sepak bola, toke layaknya agen yang mengurus seluruh urusan pemain mulai dari gaji, masa kontrak, transfer dan perpindahan klub, namun parahnya banyak toke yang menguras uang TKI, dimulai dari urusan paspor dimana TKI harus membayar diatas angka satu juta, kemudian juga uang masuk malaysia, uang ini itu dan diperparah dengan kekurang-pahaman TKI terhadap undang-undang terkait ketenaga-kerjaan dan hukum lintas batas. Benar jika banyak yang mengatakan banyak TKI yang dibodoh-bodohi oleh majikannya. Penghasilan mereka di malaysia lebih banyak ketimbang mereka kerja di indonesia, namun dari penghasilan tersebut hanya sedikit yang datang ke tangan mereka karena dipotong ini itu, seperti paspor, pajak dsb, dan padahal tidak ada aturan seperti itu.

Berbekal pengalaman ini saya memohon kepada pemerintah agar kegiatan pembekalan dan pengembangan wawasan TKI benar-benar terlaksana secara menyeluruh, sehingga TKI yang kita kirim pun memiliki wawasan dan pengetahuan, kondisi di nunukan hari ini sangat miris, TKI seakan membawa pengetahuan yang nihil tapi memiliki tenaga yang cukup untuk diperas oleh negara tetangga, sehingga sangat mudah dilakukan pembodohan oleh majikan, toke ataupun juragan mereka di negeri sana. Sepanjang proses dari kapal tiba hingga proses imigrasi, TKI seakan dipandang sebelah mata, dibentak, dihardik, dikasari hingga ada juga yang ditendang dan disuruh pulang. TKI disini layaknya sebagai budak yang seakan tak bernilai harganya dan dipandang sebelah mata, mereka hanya dibutuhkan tenaganya namun belum untuk kecerdasannya.

Saya juga menyoroti perizinan lintas batas yang harus diperketat, kita dapat izin cap di imigrasi indonesia namun sayangnya ada beberapa yang ditolak di imigrasi malaysia sehingga sesampai di malaysia mereka harus dipulangkan kembali, ada dua puluh orang yang dipulangkan hari ini termasuk saya, saya sangat bersyukur mendapatkan pelajaran yang tidak pernah terfikir oleh saya, masuk sel negara tetangga, bercengkrama, berdiskusi dan mendengarkan keluh kesah TKI yang tentu sebagai catatan pembelajaran saya kedepan.

Saya sangat berharap kepada pemerintah dan masyarakat semua agar ikut melirik masa depan TKI kita. Umumnya masyarakat hanya menilai TKI sebatas pekerja rumah tangga, padahal banyak mereka yang bekerja sebagai buruh kebun, buruh industri, tukang angkat dsb. Kisah TKI di bergosong sebatik-malaysia tentunya juga menjadi pengingat bagi kita semua, bagaimana kehidupan TKI disana yang diperas tenaganya namun banyak yang dibatasi akses pendidikannya, banyak anak-anak mereka tidak dapat mengenyam pendidikan dan hanya disuruh orang tuanya  menombak serta membersihkan kebun sawit juragannya. Usia 14 tahun beberapa dari mereka sudah dinikahkan dan menjadi budak abadi di perusahaan sawit bergosong.


Terimakasih saya ucapkan kepada Beasiswa Aktivis Nusantara, Dompet Dhuafa yang memberikan kesempatan saya berada di tapal batas indonesia-malaysia, sehingga saya banyak belajar bagaimana kehidupan TKI. Bercengkrama, berdiskusi dan berbagi tawa bersama mereka, mengajar anak-anak mereka di sekolah tapal batas serta berkunjung ke kawasan tempat mereka bekerja di malaysia tentu menjadi pengalaman berharga, terkhusus pengalaman membersamai mereka di jeruji besi meski hanya sebatas 5 jam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar